Aimi Homestead A humble homestead, a timeless heritage

Pekarangan, Pangan, Peradaban

Our Project Now


TBM Lazuardi

A thousand stories, one bright horizon.

Sontoloyo Farm

In every feather, a story of resilience

Miq Nursery

Nurturing sprouts, growing hope

Eureka! Creative

Play, learn, and spark imagination.

"Every seed holds a story, every egg carries resilience, every book lights a horizon.
At Aimi Homestead, we believe small steps in our backyard can shape civilizations."

~ JOIN US ~

UPF: Makanan Kekinian yang Mengancam Kesehatan Anak

 

1. FAQ Singkat: Apa Itu Ultra-Processed Food (UPF)?


Apa itu Ultra-Processed Food?

UPF adalah makanan yang mengalami proses industri tinggi, tidak lagi menyerupai bentuk asli bahan dasarnya. Biasanya mengandung banyak tambahan kimia seperti pewarna, perisa buatan, pengawet, emulsifier, atau penstabil.
Contoh: sosis, nugget, mie instan, biskuit, minuman kemasan, permen, makanan beku siap goreng, dll.

Kenapa UPF berbahaya?
Karena kandungan gizinya rendah, tapi tinggi kalori dan zat aditif. Ini membuat tubuh bekerja keras untuk mencernanya, meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes, kanker, obesitas, hingga gangguan mental.

Kalau enak dan praktis, kenapa harus dikurangi?
Karena makanan ini memang dirancang untuk enak dan bikin nagih, tapi bukan untuk memberi manfaat kesehatan jangka panjang. Makin sering dikonsumsi, makin tinggi risiko gangguan metabolik.

Bagaimana cara mengenalinya?
Lihat komposisinya. Jika bahan-bahannya banyak yang tidak kamu kenal atau tidak bisa dibuat sendiri di dapur (seperti "mono-diglycerides", "perisa identik alami", "E621"), kemungkinan besar itu UPF.

Apakah buatan rumahan pasti aman?
Tidak selalu. Banyak resep rumahan kini menggunakan bahan ultra-proses seperti susu kental manis, margarin pabrik, pengembang kimia, emulsifier, dll.

2. Real Food vs UPF

Real Food (Makanan Sejati) adalah makanan yang minim proses, tidak atau sedikit mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
Contoh: nasi, telur, ayam, ikan segar, buah, sayur, ubi, kacang-kacangan, tempe, tahu, santan.

Ciri Real Food:

  • Bisa ditemukan di pasar tradisional atau kebun
  • Tanpa label atau kemasan warna-warni
  • Dikenali oleh nenek kita
  • Gampang dibuat di dapur rumah tanpa alat industri
  • Bahan utamanya utuh dan alami

Sebaliknya, UPF:

  • Banyak ditemukan di minimarket
  • Punya daftar bahan panjang dengan nama kimia
  • Tahan lama dan sering digoreng atau dibekukan
  • Dirancang agar praktis, menarik, dan nagih
  • Banyak diiklankan, tapi miskin nutrisi

Real food memberi hidup. UPF hanya memberi rasa.

3. Dampak UPF Bagi Anak-anak

Anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap dampak konsumsi UPF karena tubuh dan otaknya sedang tumbuh dan berkembang.

Efek Buruk yang Telah Terbukti:

  • Obesitas dan gangguan metabolik
    Studi oleh Neri et al. (2019) dalam BMJ menunjukkan bahwa konsumsi tinggi UPF pada anak meningkatkan risiko obesitas dan indeks massa tubuh berlebih secara signifikan.
    Sumber: BMJ, 2019
  • Masalah kognitif dan emosional
    Penelitian di Journal of Clinical Nutrition (Francis et al., 2020) menemukan hubungan antara konsumsi tinggi UPF dengan gangguan konsentrasi, mood swing, dan bahkan depresi.
    Sumber: Francis et al., 2020
  • Risiko penyakit kronis di usia muda
    Konsumsi UPF sejak dini berhubungan dengan peningkatan risiko tekanan darah tinggi, resistensi insulin, dan gangguan pencernaan kronis.
    Sumber: Monteiro et al., 2018
  • Kecanduan rasa dan preferensi makan buruk
    UPF membuat anak lebih memilih makanan tinggi gula/garam dibanding makanan segar seperti sayur dan buah.

4. Makanan UPF yang Sering Dianggap Real Food

Banyak orang tua berpikir bahwa asal makanan dibuat di rumah, maka pasti sehat. Ini tidak sepenuhnya benar. Berikut beberapa contoh makanan rumahan yang tampak sehat, tapi sebenarnya tergolong UPF karena bahan-bahannya:

Donat dan Roti Rumahan

  • Tepung terigu halus
  • Gula pasir atau susu kental manis
  • Mentega/margarin pabrik
  • Emulsifier SP atau TBM
  • Baking powder dan soda kue

Kue Lembut dari Resep Sosial Media

  • Pewarna sintetis
  • Perisa buatan
  • Whipping cream instan
  • Glaze berbahan kimia

Bekal Sekolah Instan

  • Sosis instan
  • Keju olahan
  • Nugget pabrik
  • Roti tawar kemasan

"Jika ingin anak tumbuh sehat, jangan beri mereka apa yang memuaskan lidah, tapi beri apa yang membangun tubuh dan akal mereka."

Berawal dari Sisa, Bersemi Makna Bersahaja

 


Daun singkong ini tumbuh subur di Aimi Homestead—akar dan batangnya menembus tanah yang kami pulihkan pelan-pelan. Media tanamnya: campuran tanah dan limbah. Karena di sini, kami berusaha agar tak ada yang benar-benar menjadi sampah. Setiap sisa adalah awal yang baru, ia hanya sedang menunggu.

Ya, kami punya 3 (tiga) tempat sampah di dapur: plastik, rongsok, dan organik. Setiap 2-3 minggu sekali, Pak Tua mengambil rongsokan, rezeki yang siap didaur ulang. Plastik mi instan atau lainnya yang tak terjual, terpaksa kami bakar, tentu dengan rasa memberontak yang tak pernah padam. Tapi plastik tebal, terutama bekas minyak goreng, kami potong dan jadikan wadah tanam. Tak mewah, tak instagramable, tapi bertumbuh di dalamnya kangkung, bayam dan selada. 

Kami sadar, kami belum sepenuhnya bebas dari limbah. Tapi di setiap keputusan kecil, kami belajar: tak ada sampah, ia hanya berada di tempat yang salah. Tak ada yang sia-sia, ia hanya perlu sentuhan rasa. Dari kebiasaan memilah, memberi makan tanah, sampai memanfaatkan ulang—kami merawat hubungan tanah dengan bijaksana, dengan lebih makna, dengan lebih rasa.

Merayakan Hidup yang Cukup, Makna, dan Bijaksana

 


Di Aimi Homestead, kami menanam, kami merawat, kami memanen: semangat dan filosofi. Kami membangun ritme baru yang lebih lambat, lebih sadar, dan lebih terhubung. Sebuah slow living—hidup yang alih-alih diburu masa, tapi fokus  memanen makna, dari setiap detik yang dilewati bersama: tanah yg berbisik, air yang gemericik, dan kehidupan yg berkelindan dg asyik.

Kami belajar foraging, dari anak-anak desa, yang tahu mana dedaunan paling sedap, dan jejamuran yang bakal lahap disantap. Kami menata ulang pekarangan, bukan hanya sebagai tempat menanam, tapi sebagai lanskap yang berpola, berlapis, dan saling mendukung—seperti prinsip permakultur ajarkan. Setiap gulma bisa jadi mulsa, setiap limbah bisa jadi berkah, dan setiap waktu adalah laku.

Dan lebih dari itu, kami percaya pada kekuatan local geniuses—pengetahuan para tetua, kearifan para petani, dan kebiasaan kecil yang dianggap remeh tapi penuh hikmah dan visi masa depan yang cerah: weruh sedurung winarah. Homestead kami bukan sekadar tembat tinggal dan diam, kelak akan bertransformasi, ruang belajar lintas generasi, yang hidup dan menghidupi, setiap hari.

Anak-anak, dan Semesta yang Penuh Kenangan

 


Anak-anak kami belum sepenuhnya paham apa yang kami kerjakan di Aimi Homestead. Mereka melihat kami sibuk di kebun, di kolam, di kandang, tapi belum tentu mengerti makna di baliknya. Sesekali mereka kami ajak mengambil telur bebek, menyiram tanaman dengan air kolam, atau memancing ikan untuk makan malam. 

Tak jarang, tangan kecil mereka mencabuti rumput dan melemparkannya ke kandang sebagai pakan tambahan. Aktivitas itu mungkin terlihat sederhana, tapi setiap gerakan mereka menjadi bagian dari pola yang lebih besar: hidup yang saling terhubung.

Kami tak memaksa mereka mengerti istilah “kedaulatan pangan” atau “economy circular”, karena kami percaya pemahaman yang sejati tumbuh dari laku, bukan hanya buku. Mereka belajar memilah sampah bukan dari teori, tapi dari melihat apa yang terjadi jika sisa dapur tak ditangani. 

Mereka melihat air kolam yang hijau memberi nutrisi pada daun, dan daun yang mereka rawat tumbuh jadi lalapan yang tersaji di meja makan. Perlahan, pengalaman mereka membentuk kesadaran, yang tidak dihafal, tapi dijalani dan menentramkan.

Suatu saat, mungkin mereka akan hidup jauh dari sini. Tapi kami percaya, tangan yang pernah menggenggam telur hangat dari kandang, ikan segar dari kolam, dan wangi dedaunan pekarangan akan membawa kenangan, dan makna yang mendalam. 

Mereka mungkin tak sadar sedang belajar sekarang, tapi benih itu telah tertanam. Dan ketika waktunya tiba, mereka akan tahu: bahwa hidup selaras dengan alam bukanlah sebuah pilihan, tapi sebuah jalan yang sudah mereka kenal, dan penuh kenang.

Dari Bebek Petelur, Kami Merancang Kedaulatan Pangan

 


Sepuluh ekor bebek bukanlah angka yang besar, tapi dari sana kami belajar tentang hasil yang benar-benar mengakar. Dengan produktivitas 70 persen, artinya tujuh butir telur kami petik setiap sore. Jika satu butir dijual dua ribu lima ratus rupiah, maka tujuh belas ribu lima ratus masuk ke saku dengan peluh yang sederhana. Biaya pakannya pun terukur: 1,2 kilogram setiap hari, dengan harga delapan ribu rupiah per kilo, jadi sekitar sembilan ribu enam ratus yang kami keluarkan. Sisanya, bukan sekadar untung uang, tapi sinyal bahwa sistem ini mulai berjalan.

Bukan angka besar yang kami kejar, tapi arah yang jelas untuk bertumbuh benar. Dari hasil kecil ini, kami bisa menyiapkan dana untuk bibit kangkung di kolam, atau membeli bahan baku fermentasi pakan. Telur-telur bebek bukan sekadar produk, tapi pengungkit bagi kegiatan lain yang saling terhubung. Di sinilah prinsip obtain a yield kami maknai: hasil bukan hanya panen besar di akhir musim, tapi juga aliran kecil yang terus menghidupkan.

Ketika satu kegiatan menghasilkan, kegiatan lain pun diberi napas. Kami belajar merancang pekarangan seperti tubuh yang berjejaring: kandang menghasilkan kotoran untuk kompos, kolam menerima air bekas cuci telur, dan kebun menyambut pupuk alami dengan syukur. Satu hasil kecil dari bebek menjadi pemantik bagi kebun, dapur, dan pembibitan. Inilah buah dari desain: hasil yang mengalir, menghidupi, dan menyambung—perlahan namun pasti.

Permakultur di Aimi Homestead, Kisah Awal Mula

 


Di awal mula kami menimbang langkah, antara ayam kampung atau bebek, mana yang lebih ramah dan tentunya murah meriah. Ayam sempat jadi pilihan, namun dalam eksekusi, bebek yang akhirnya diterapkan. Bebek mempunyai ketahanan yang dianggap lebih baik dari ayam. Ia tak rewel saat dingin dan hujan, tak gampang sakit di cuaca panas, dan telurnya punya nilai jual yang luas. 

Dalam usaha kecil, kestabilan adalah kunci, bukan sekadar jumlah produksi tinggi. Maka kami pelan-pelan memahami, bahwa hasil yang baik tak selalu berarti paling banyak, tapi cukup, konsisten, dan tak mudah goyah. Dalam prinsip permakultur, memetik hasil (obtain a yield) adalah hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Dan setelah melalui perhitungan, bebek petelur kami jadikan titik mula dari Aimi Homestead.

Lalu muncul pertanyaan lanjutan: dari mana memulai? Apakah dari itik kecil yang lucu dan murah, atau bebek dewasa yang siap bertelur meski lebih mahal rupanya? Kami akhirnya memilih jalur cepat: sepuluh ekor bebek siap produksi, langsung memberi hasil meski butuh investasi awal yang pasti. Karena waktu dan energi juga perlu ditimbang, pilihan ini terasa lebih masuk akal—bukan jalan pintas, tapi jalan sadar.

Perubahan Itu Cara Semesta Menulis Ulang Kemungkinan

 


Minggu depan, aku berencana memindahkan tanaman ubi jalar. Awalnya tumbuh subur di pinggir kolam, tapi kini akan kupindahkan ke belakang dapur. Bukan karena tempat lamanya tak layak, melainkan karena ada ide baru yang menurutku lebih tepat sasaran: di pinggir kolam itu, aku ingin menanam daun singkong. Singkong bisa tumbuh cepat, kuat menahan air limpasan, dan lebih mudah dipanen untuk kebutuhan dapur harian.

Lahan di pinggir kolam memang sempit. Semakin hari, batang dan daun ubi jalar makin menjalar, tapi hasil panen daunnya justru makin sulit karena semak makin lebat. Beberapa kali aku juga melihat ulat mulai banyak bermunculan di sela-sela daun. Dengan kondisi seperti itu, rasanya lebih cocok untuk tanaman yang tegak dan langsung tumbuh ke atas, seperti singkong atau kenikir. Sementara ubi jalar, yang lebih membutuhkan ruang menjalar, akan kupindah ke belakang dapur yang lebih luas. Ini bagian dari belajar membaca ulang situasi dan menanggapinya dengan bijak—sebuah praktik kecil dari prinsip creatively use and respond to change. Perubahan bukan hanya soal mengganti, tapi soal memahami kapan dan di mana sesuatu bisa tumbuh lebih optimal.

Sudah beberapa kali aku memindahkan atau bahkan menghapus sesuatu yang sebelumnya kutanam atau kubangun. Kadang terasa berat di awal—karena sudah terlanjur ditanam, dibuat, atau dibayangkan. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa fleksibilitas justru menyelamatkan. Dulu aku pernah mencoba maggot sebagai bagian dari mimpi sirkular ekonomi di Aimi Homestead. Tapi setelah dijalani, ternyata tak selalu feasible di lapangan. Sisa makanan yang semula ingin kuolah lewat maggot, kini langsung kuberikan ke ikan atau bebek—lebih sederhana, langsung termanfaatkan, dan tak perlu proses tambahan. Begitu pula saat aku membangun kandang kastari, lalu berganti ke kandang baterai, dan kini kembali ke kandang biasa—semua karena pertimbangan kenyamanan, tenaga kerja, dan kondisi harian yang terus berubah.

Dari semua itu, aku makin yakin bahwa merancang kebun atau sistem hidup tak bisa kaku. Prinsip dalam permakultur yang disebut apply self-regulation and accept feedback mengajarkanku untuk tidak terpaku pada rencana awal, tetapi siap menyesuaikan diri dengan realita. Kita mungkin memulai dari mimpi, tapi yang paling berharga adalah kemampuan membaca ulang, merancang ulang, dan terus menimbang: mana yang paling feasible, paling sesuai untuk keberlanjutan jangka panjang. Di Aimi Homestead, perubahan bukan kegagalan—tapi bagian dari proses belajar yang terus berjalan.

Our Special Project


homestead.aimi.my.id
Susukan, Sumbang
Banyumas

Phone
0857-4005-0526
homestead.aimi@gmail.com

Aimi Homestead is a living yard rooted in permaculture, where family resilience is nurtured, local wisdom becomes a compass, and circular economy ensures nothing goes to waste. It is a humble step toward sustainability, where food, community, and civilization grow hand in hand.


“Though the problems of the world are increasingly complex, the solutions remain embarrassingly simple.”
— Bill Mollison, Father of Permaculture