Sepuluh ekor bebek bukanlah angka yang besar, tapi dari sana kami belajar tentang hasil yang benar-benar mengakar. Dengan produktivitas 70 persen, artinya tujuh butir telur kami petik setiap sore. Jika satu butir dijual dua ribu lima ratus rupiah, maka tujuh belas ribu lima ratus masuk ke saku dengan peluh yang sederhana. Biaya pakannya pun terukur: 1,2 kilogram setiap hari, dengan harga delapan ribu rupiah per kilo, jadi sekitar sembilan ribu enam ratus yang kami keluarkan. Sisanya, bukan sekadar untung uang, tapi sinyal bahwa sistem ini mulai berjalan.
Bukan angka besar yang kami kejar, tapi arah yang jelas untuk bertumbuh benar. Dari hasil kecil ini, kami bisa menyiapkan dana untuk bibit kangkung di kolam, atau membeli bahan baku fermentasi pakan. Telur-telur bebek bukan sekadar produk, tapi pengungkit bagi kegiatan lain yang saling terhubung. Di sinilah prinsip obtain a yield kami maknai: hasil bukan hanya panen besar di akhir musim, tapi juga aliran kecil yang terus menghidupkan.
Ketika satu kegiatan menghasilkan, kegiatan lain pun diberi napas. Kami belajar merancang pekarangan seperti tubuh yang berjejaring: kandang menghasilkan kotoran untuk kompos, kolam menerima air bekas cuci telur, dan kebun menyambut pupuk alami dengan syukur. Satu hasil kecil dari bebek menjadi pemantik bagi kebun, dapur, dan pembibitan. Inilah buah dari desain: hasil yang mengalir, menghidupi, dan menyambung—perlahan namun pasti.