Ads 728x90

Antara Tanah, Petrikor, dan Sebuah Refleksi Aimi Homestead

close


Di Aimi Homestead, kami memilih tetap berpijak pada tanah—secara harfiah maupun batiniah. Di saat banyak yang beralih pada pipa dan talang, pada NFT dan paralon bertingkat-tingkat, kami justru menunduk ke bumi. Mencium petrikor -wangi tanah dan hujan- , menyentuh cacing yang menggeliat, merasakan denyut kehidupan yang tak bisa dipalsukan oleh alat, dan zaman.

Bukan, bukan karena kami sedang berseteru dengan zaman. Bukan pula karena menolak kemajuan. Tapi karena kami percaya, yang sederhana belum tentu tertinggal dan hampa, dan yang canggih belum tentu mengakar dengan gigih. Kami percaya bahwa tanah menyimpan kearifan. Ia mengenal musim, memahami hujan, dan bersahabat dengan akar yang menjalar dalam diam.

Air, dan talang, dan campuran yang antah berantah, memang tampak rapi dan bersih—tanpa lumpur, tanpa semak dan nyamuk. Tapi di balik yang mengalir bening, sering kali tersembunyi pupuk non hayati, pupuk yang isinya tak pernah kita pahami. Alat-alat yang tak murah, juga jadi beban bagi kami yang jelata. Dedaunan memang bertumbuh disana, tapi tentang nilai, ah, kami tak bisa hanya menerima. Ia menjanjikan kecepatan, tapi kadang melupakan keterhubungan, dengan ekosistem yang lebih dalam.

Kami tahu, air dan pipa bisa jadi solusi di lahan sempit perkotaan. Ia bisa hadir di balkon, di atap, bahkan di ruang kerja. Dalam kondisi tertentu, ia membawa harapan. Tapi bagi kami yang hidup bersama tanah, yang menanam bukan hanya untuk panen tapi juga untuk paham, pendekatan itu belum cukup menggantikan rasa bersentuhan dengan bumi.

Sementara itu, tanah mengajarkan kami untuk sabar dan jujur. Ia tak selalu menghasilkan sempurna, tapi ia memberi ruang untuk belajar. Kami bisa memanfaatkan kompos dari sisa dapur, kotoran bebek, daun gugur dari pagar hidup—semuanya kembali ke tanah, semuanya kembali dalam lingkaran tak berkesudahan. Kami belajar dari petani-petani tua yang tak banyak bicara, tapi tahu kapan menanam, kapan menanti, kapan mencumbui sunyi.

Bagi kami yang jelata, tanah jauh lebih terjangkau, lebih menghela risau. Tak perlu pompa, tak perlu listrik, tak perlu rak bertingkat. Cukup sekop, air hujan, dan kerja bersama. Secara keberlanjutan, ia pun lebih menentramkan. Kami tak perlu beli nutrisi dalam kemasan, cukup rawat simbiosis di dalam kebun pekarangan.

Di Aimi Homestead, kami memilih tanah bukan karena malas belajar teknologi. Tapi karena kami ingin tetap menyentuh kehidupan, bukan berkacak pinggang mengatur sistem. Kami ingin anak-anak tahu bahwa makanan tumbuh dari bumi, bukan dari ember plastik yang digantung rapi. Kami ingin kebun kami punya suara: dari angin yang meniup daun, dari serangga yang terbang, dari cacing yang menggemburkan lahan.

Karena kami percaya, yang tampak menarik belum tentu membawa baik. Dan yang tampak biasa, bisa jadi semesta rahasia. Tanah tidak hanya tempat berpijak—ia adalah ruang belajar, ruang bertumbuh, dan ruang untuk kembali pulang.

Setiap tempat punya tantangan, setiap keluarga punya cara. Apa yang kami lakukan di Aimi Homestead bukan patokan tunggal, tapi cermin kecil dari jalan yang kami tempuh. Kami percaya, ketahanan pangan dimulai bukan dari memilih sistem paling hebat, tapi dari memilih sistem yang bisa kita rawat, dan kelak, merawat kita.

Share on :